Duniaku, Tak Ingin Kusatukan Dengan Duniamu
Seonggok tubuh mungil terduduk dalam lamunannya didepan pelataran sekolah, sekolah dasar yang menjadi tempatnya tumbuh, dengan segala keheningan.
Itulah yang dilakukan oleh Rizal setiap akan memulai harinya, berteman dengan sepi, lekat dengan khayalan fana yang selalu menari didalam kepalanya.
Sedih, kalau mengingat masa itu.
Saat ia menghabiskan masa kecilnya, tak punya banyak teman, bahkan hanya berteman dengan tembok-tembok sekolah dasar yang mulai retak termakan usia.
Dalam setiap 24 jam hidupnya saat itu, ia ciptakan dunia-nya sendiri, seakan-akan ada yang mengajaknya kepada sebuah hunian megah dengan banyak area permainan dan makanan yang langsung disediakan saat ia menginginkannya.
Wajar, saat itu ia hidup dalam keterbatasan, cukup namun tak lebih banyak dari yang mungkin ia bayangkan dan impikan saat itu.
Semakin sering ia masuk kedalam dunianya, semakin lupa pula ia dengan dunia dimana ia berpijak saat itu.
Dalam setiap momen, dalam setiap benda, dan apapun yang ia tangkap oleh mata mungilnya seakan membawanya masuk ke dalam dunia baru, selalu dunia baru, dunianya sendiri.
Hal seperti itu membuatnya sedikit mengeluarkan kata, membuatnya tak begitu riang seperti anak seusia itu pada umumnya.
Bahkan, ia pun sampai merasa sesak saat berada dalam dunia nyata yang penuh dengan keramaian, penuh dengan variasi manusia dengan puluhan raut wajah dan senyuman yang entah palsu atau bukan, semuanya seakan-akan menatapnya dengan begitu tajam.
Membuatnya merasa seperti diawasi, merasa seperti terintimidasi, dan membuatnya bungkam, bungkam sebab tak ada yang seperti ini di dunia yang ia ciptakan.
Dalam dunianya hanya ada beberapa orang yang ia harapkan ada, bahkan lebih banyak di isi oleh makhluk lain yang dapat berbicara, juga mainan-mainan yang ia berikan nyawa dan perasaan.
Kurang lebih 7 tahun lamanya ia jalani seperti ini, menjadi pribadi yang orang bilang “pendiam”, menjadi anak kecil yang tumbuh dengan riang dalam dunia khayalannya, namun seakan “bisu” dalam dunia tempat ia dibesarkan oleh kedua orang tuanya.
Andai saja ketika itu ia sudah pandai merangkai kata dan menulis bait-bait naskah seperti yang saat ini kulakukan, mungkin ia akan mengatakan pada orang-orang dalam dunia nyata, bahwa “Duniaku tak akan kusatukan dengan duniamu, akupun tak paham kenapa begitu”.
Ia menjadi takut menghadapi kenyataan, iya, bahkan senyuman nyata dari orang yang memang benar-benar tulus memberikannya padanya.
Saat ini ia mulai paham dan sadar mengapa dulu hal tersebut bisa terjadi padanya, hingga akhirnya ia putuskan untuk menuangkannya dalam barisan-barisan kata pada laman website ini, harapannya agar ia semakin sadar bahwa selamanya dunia nyatalah yang membersamainya.
Kisahnya belum usai sampai disini, mungkin ia akan tuliskan lagi di kesempatan berikutnya, kesempatannya untuk menceritakan bagaimana ia lepas dari 7 tahun kelamnya, iya, kelam menurutnya.
---
Meskipun terlalu berlebihan, haha.
Gabung dalam percakapan